Peringatan Hari Buruh atau May Day setiap 1 Mei tak hanya sekadar libur nasional, melainkan momentum mengenang perjuangan panjang para pekerja yang memperjuangkan hak-haknya. Sejarahnya berakar dari gerakan buruh abad ke-19 di Amerika Serikat, yang menuntut jam kerja lebih pendek, upah layak, dan kondisi kerja aman. Puncaknya, demonstrasi besar di Chicago pada 1 Mei 1886, berujung kekerasan dan kematian, mengakibatkan empat aktivis dihukum mati atas tuduhan terorisme. Tragedi ini justru menyatukan gerakan buruh internasional.
Di Indonesia, sejarah perjuangan buruh tak kalah panjang, dimulai sejak era kolonial Belanda. Mogok kerja dan berbagai aksi lainnya menjadi alat perjuangan para pekerja untuk mendapatkan hak-haknya. Namun, di masa Orde Baru, peringatan May Day dihapus, dianggap sebagai paham komunis. Istilah "buruh" pun diganti dengan "karyawan".
Reformasi membawa angin segar. Peringatan May Day kembali diizinkan, dan di era Susilo Bambang Yudhoyono, ditetapkan sebagai libur nasional. Perjuangan ini tak lepas dari peran para aktivis buruh yang gigih. Indonesia memiliki pahlawan buruh nasional seperti Marsinah, Muchtar Pakpahan, dan Thamrin Mosi.
Marsinah, yang memimpin demonstrasi terkait pelanggaran hak buruh pada 1993, menghilang dan ditemukan tewas tiga hari kemudian. Muchtar Pakpahan, pendiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), berjuang keras untuk keadilan buruh dan meraih berbagai penghargaan HAM. Sementara Thamrin Mosi, berperan besar dalam pembentukan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan mendirikan berbagai serikat pekerja lokal. Kisah mereka menjadi bukti nyata betapa panjang dan berliku jalan perjuangan buruh Indonesia hingga mencapai hari ini.