Pamekasan – Di tengah modernisasi, alat tradisional penumbuk padi bernama ronjhangan nyaris punah. Namun, Cahyanto, pendiri Sanggar Seni Makan Ati, bertekad untuk melestarikannya. Ia melakukannya dengan cara unik: mentransformasikan ronjhangan menjadi sebuah pertunjukan seni yang memukau.
Ronjhangan, lesung dari kayu, bukan sekadar alat pertanian. Di beberapa daerah, ia juga menjadi media permainan tradisional yang sarat makna. Namun, seiring waktu, keberadaan ronjhangan semakin langka. Cahyanto melihat celah ini sebagai kesempatan untuk menghidupkan kembali warisan budaya tersebut.
"Ronjhangan memiliki filosofi yang dalam," ujar Cahyanto. "Proses menumbuk padi membutuhkan kerja sama beberapa orang, mencerminkan semangat gotong royong yang kental dalam masyarakat Madura." Lebih dari itu, bunyi yang dihasilkan saat menumbuk padi pun beragam, mencerminkan suasana yang sedang berlangsung, dari riang gembira di pesta pernikahan hingga suasana yang lebih khidmat.
Upaya Cahyanto untuk melestarikan ronjhangan tak sia-sia. Pada tahun 2006, Sanggar Seni Makan Ati berhasil masuk lima besar penyaji terbaik dalam sebuah event di Jawa Timur berkat pertunjukan ronjhangan mereka. Sejak saat itu, mereka terus menampilkan pertunjukan ini di berbagai kesempatan.
"Melalui pertunjukan ini, kami ingin mengingatkan masyarakat akan keberadaan ronjhangan," jelas Cahyanto. "Ronjhangan bukan hanya alat, tapi juga simbol kebersamaan dan tradisi yang harus tetap lestari dari generasi ke generasi." Ia berharap agar pertunjukan ronjhangan dapat terus menginspirasi dan menjaga warisan budaya Madura tetap hidup.