MaduraPost melaporkan, Amerika Serikat saat ini tengah berada di puncak polarisasi politik, terutama dalam hal kebijakan ekonomi dan perdagangan. Donald Trump, sejak menjabat presiden, telah menerapkan kebijakan ekonomi yang agresif, ditandai dengan penandatanganan sekitar 85 Executive Order hanya dalam sebulan pertama masa jabatannya. Langkah ini jauh lebih banyak dibandingkan pendahulunya. Salah satu kebijakan kontroversial Trump adalah penerapan tarif tinggi terhadap beberapa mitra dagang utama, seperti Tiongkok, Meksiko, Kanada, dan Kolombia.
Kebijakan proteksionis ini berdampak signifikan terhadap ekonomi global, mengganggu rantai pasokan dan meningkatkan inflasi. Meskipun inflasi telah turun dari 9% ke 3% dalam 18 bulan terakhir, dan suku bunga telah dipangkas 100 basis poin dari 5,5% (tingkat tertinggi sejak krisis 2008), The Fed tetap berhati-hati. Mereka menunggu inflasi mencapai target 2% sebelum mempertimbangkan pemangkasan lebih lanjut.
Investor berharap suku bunga turun hingga 2,5%, namun kebijakan tarif Trump berpotensi menggagalkan harapan tersebut. Negara-negara yang terkena dampak tarif Trump menyumbang sekitar USD 1,7 triliun terhadap total impor AS pada 2024 (6% dari PDB AS). Perang dagang yang lebih luas akan memperburuk inflasi.
Rencana deportasi massal pekerja imigran ilegal juga berpotensi meningkatkan inflasi, karena mengurangi akses terhadap tenaga kerja murah. Namun, kebijakan Trump yang mendorong produksi minyak dalam negeri dan efisiensi pengeluaran anggaran federal berpotensi menurunkan inflasi.
Hubungan Trump dan Jerome Powell, Ketua The Fed, juga menjadi faktor penting. Meskipun Trump menunjuk Powell, mereka sering berbeda pendapat tentang kebijakan suku bunga. Trump terus menekan Powell untuk memangkas suku bunga, sementara Powell bersikap hati-hati.
Kembalinya Trump ke Gedung Putih membawa optimisme bagi pasar aset berisiko, tetapi investor harus memahami konsekuensi kebijakan Trump terhadap tarif, inflasi, dan suku bunga.
Berita ini juga terbit di: www.vritimes.com/id