MaduraPost – Mahkamah Konstitusi Indonesia baru-baru ini mengeluarkan putusan yang mengubah signifikan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Putusan ini berdampak besar bagi para pengusaha di seluruh negeri, terutama terkait dengan hak-hak pekerja, praktik ketenagakerjaan, dan standar kerja secara keseluruhan. Artikel ini membahas putusan kunci, dampaknya terhadap bisnis, dan menawarkan panduan tentang cara beradaptasi untuk mematuhi persyaratan hukum baru.
Salah satu perubahan utama adalah pemisahan regulasi ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja. Hal ini mewajibkan pembentukan undang-undang ketenagakerjaan tersendiri, yang akan memberikan panduan hukum yang lebih jelas dan meningkatkan prediktabilitas dalam hubungan kerja. Bagi pengusaha, ini berarti mereka harus mengikuti undang-undang ketenagakerjaan khusus, yang mungkin akan memperkenalkan regulasi baru yang spesifik terkait ketenagakerjaan di masa mendatang.
Putusan Mahkamah Konstitusi juga menegaskan prioritas tenaga kerja lokal di atas tenaga asing, terutama dalam posisi yang membutuhkan keterampilan khusus atau peran sementara. Bisnis perlu menilai kebijakan perekrutan mereka dan memastikan kepatuhan pada pembatasan terhadap tenaga kerja asing.
Kontrak kerja waktu tertentu (PKWT) juga dibatasi maksimal lima tahun, termasuk perpanjangan. Perusahaan yang terbiasa menggunakan kontrak waktu tertentu untuk peran jangka panjang mungkin perlu menyesuaikan dan mengalihkan lebih banyak peran menjadi posisi permanen.
Outsourcing kini dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu yang diatur oleh Menteri Ketenagakerjaan. Bisnis perlu meninjau praktik outsourcing yang ada dan memastikan hanya peran yang diizinkan yang di-outsourcing-kan.
Putusan Mahkamah Konstitusi juga mengembalikan opsi akhir pekan dua hari, memungkinkan fleksibilitas untuk lima atau enam hari kerja berdasarkan produktivitas dan kebutuhan perusahaan. Perusahaan sebaiknya mempertimbangkan untuk merevisi jadwal kerja mereka guna menawarkan opsi ini jika memungkinkan.
Komponen gaji harus memenuhi standar "hidup layak," yang mencakup kebutuhan seperti tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan tabungan pensiun. Bagi pengusaha, perubahan ini mungkin berarti meninjau struktur upah untuk menyesuaikan dengan kriteria upah layak ini.
Dewan Pengupahan dihidupkan kembali untuk mengawasi penetapan upah. Pengusaha kini harus memperhitungkan keputusan dewan ini dalam menetapkan upah dan memastikan variasi regional tercermin dengan baik dalam kebijakan kompensasi mereka.
Upah kini diwajibkan untuk mencerminkan indikator ekonomi lokal, seperti pertumbuhan ekonomi regional dan biaya hidup. Perusahaan harus siap menyesuaikan struktur upah mereka untuk mematuhi standar proporsional ini.
UU Cipta Kerja awalnya menghapus upah minimum sektoral, tetapi putusan terbaru mengembalikannya, mengakui bahwa sektor-sektor yang berbeda memiliki kebutuhan dan risiko yang unik. Perusahaan di industri khusus kini harus mematuhi standar upah minimum sektoral.
Serikat pekerja kini diakui kembali sebagai pemangku kepentingan utama dalam penetapan upah. Perusahaan sebaiknya bersiap untuk lebih banyak berinteraksi dengan serikat pekerja dalam diskusi upah dan memastikan bahwa semua negosiasi dilakukan secara transparan dan adil.
Semua pemutusan hubungan kerja harus melibatkan diskusi bipartit dan arbitrase mengikat, dengan PHK hanya diizinkan setelah ada keputusan akhir yang mengikat secara hukum. Bagi pengusaha, ini berarti meninjau kembali protokol PHK untuk memastikan mereka memenuhi persyaratan arbitrase dan menghindari tindakan sepihak yang dapat menimbulkan tantangan hukum.
Putusan pengadilan menetapkan ambang minimum untuk pembayaran penghargaan masa kerja (UPMK). Perusahaan diwajibkan untuk menetapkan batas minimum untuk pembayaran ini, yang mengakui kontribusi karyawan dalam jangka waktu yang panjang.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini menandai perubahan besar dalam lanskap ketenagakerjaan Indonesia, menekankan pada upah yang adil, keamanan kerja, dan prioritas terhadap pekerja Indonesia. Bagi perusahaan, beradaptasi dengan perubahan ini memerlukan penyesuaian proaktif dalam kebijakan sumber daya manusia, paket kompensasi, dan praktik ketenagakerjaan.
Dengan menerima perubahan ini, perusahaan tidak hanya dapat memenuhi kewajiban hukum mereka tetapi juga memperkuat hubungan dengan karyawan, berkontribusi pada pasar tenaga kerja yang lebih adil dan berkelanjutan di Indonesia.
Berita ini juga terbit di: www.vritimes.com/id.