Surabaya, Madura Post – Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan memangkas subsidi energi di tengah proyeksi defisit APBN 2025 sebesar Rp600 triliun menuai kritik pedas. Hardjuno Wiwoho, pengamat hukum dan pembangunan, menilai kebijakan ini sebagai bentuk ketidakberpihakan pada rakyat, justru menambah beban hidup masyarakat.
Hardjuno, kandidat doktor Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga, menganggap solusi menekan defisit APBN ada di depan mata: hentikan pembayaran obligasi rekapitalisasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Setiap tahun, negara menggelontorkan Rp50-70 triliun untuk obligasi rekap BLBI. Sementara rakyat dibebani kenaikan PPn dan pengurangan subsidi. Di mana keadilannya?" tegasnya di Surabaya, Minggu (1/12/2024).
Menurutnya, dana fantastis tersebut lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk subsidi energi atau program pro-rakyat lainnya. Kebijakan pembayaran obligasi BLBI dinilai sudah tak relevan dan melanggar prinsip keadilan fiskal. "Alihkan saja dana itu untuk meringankan beban rakyat," ujarnya.
Dengan penghentian pembayaran obligasi rekap BLBI, defisit APBN bisa ditekan tanpa perlu menaikkan pajak atau mengurangi subsidi. "Ini langkah win-win solution, meringankan APBN dan rakyat," imbuhnya.
Hardjuno menyadari, menghentikan pembayaran obligasi BLBI butuh keberanian politik besar. Pasalnya, kebijakan ini pasti akan mendapat resistensi dari pihak-pihak yang diuntungkan. "Tapi, jika pemerintah benar-benar pro-rakyat, ini harus dilakukan. BLBI adalah masa lalu, jangan jadi beban generasi mendatang," tegasnya.
Ia juga mengingatkan, subsidi energi merupakan kebutuhan dasar masyarakat kecil. Pengurangannya akan memperparah ketimpangan sosial. "Jangan pilih jalan mudah dengan membebani rakyat, sementara beban BLBI dibiarkan," tandasnya.
Hardjuno optimis, penghentian pembayaran obligasi rekap BLBI akan menciptakan ruang fiskal lebih besar untuk program pembangunan yang berpihak pada rakyat. "Ini bukan soal angka, tapi soal keberpihakan. Prioritaskan kepentingan rakyat atau terus terikat pada kebijakan usang?" pungkasnya.