Pamekasan – Di tengah hiruk pikuk zaman, Mastuhah, seorang perajin batik berusia 75 tahun asal Kelurahan Kowel, Kecamatan Pamekasan, tetap teguh menjaga warisan budaya lokal. Dedikasi puluhan tahunnya pada seni batik telah menghasilkan beragam motif unik, mencerminkan kekayaan budaya Bumi Ratu Pamelingan.
Tangan-tangan renta itu masih lincah memainkan canting, alat tradisional untuk membatik. Meski terik matahari sesekali menyengat kulitnya, semangat Mastuhah tak pernah padam. "Sejak remaja saya sudah dikenalkan dengan batik, karena sesepuh saya juga perajin batik," tuturnya sambil memperlihatkan beberapa canting koleksinya, Kamis (9/1/2025).
Lebih dari setengah abad Mastuhah menekuni seni batik. Ia mengaku produktivitasnya memang tak selincah masa muda. Penyakit dan kelelahan terkadang menghalangi proses kreatifnya. Namun, niat untuk berhenti sama sekali tak terbersit dalam benaknya. Baginya, batik bukan sekadar pekerjaan, melainkan bagian tak terpisahkan dari budaya yang wajib dilestarikan.
Proses pembuatan batik, diakui Mastuhah, tidaklah mudah. Mulai dari merancang pola, mewarnai, hingga proses alorot (pembersihan kain), semua membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Namun, ia menikmati setiap tahapannya. Hasilnya pun membanggakan. Mastuhah kini mampu menciptakan berbagai motif batik orisinil, seperti jigrejih, bhengkembeng, tak-kotak, war-mawar, dan masih banyak lagi.
Tingginya biaya produksi menjadi tantangan tersendiri. "Bahan-bahan batik itu mahal. Malan saja, harganya 1 kg sekitar Rp27 ribu. Belum lagi obatnya. Makanya, harga batik juga mahal," jelasnya kepada Madura Post. Kendati demikian, dedikasi Mastuhah patut diapresiasi sebagai bukti nyata pelestarian budaya lokal yang perlu dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang.